Kesehatan Mental di Era Digital
KESEHATAN MENTAL DI ERA DIGITAL
Bersama Bu Nely Rahmawati Zaimah M,Pd.
Di balik gemerlap layar ponsel dan derasnya trend media sosial, krisis yang sering tak kasat mata mulai menyeruak: gangguan kesehatan mental. Khususnya bagi generasi muda, dunia digital bukan lagi sekadar ruang hiburan, tapi juga arena tekanan sosial yang intens.
Ibu Nely Rahmawati Zaimah, M.Pd., selaku dosen STAI AL-Anwar, menyebut bahwa kesehatan mental bukan hanya tentang bebas dari stres atau gangguan psikis. Lebih dari itu, mental yang sehat adalah ketika seseorang mampu mengenal dirinya, mengelola emosi, dan tetap berpikir positif dalam berbagai kondisi.
“Kesehatan mental adalah di mana seseorang dapat menggali dan tahu potensinya, maka itu artinya mentalnya sehat. Terus bisa mengolah emosi dalam situasi apapun, baik dalam kondisi tenang atau tidak. Jika bisa, maka mentalnya sehat. Terus berpikir positif, contoh berhusnuzan,” tuturnya.
Sayangnya menurut beliau media digital saat ini sering kali menjadi faktor tergerusnya ketenangan dalam kesahatan mental. Informasi yang kian mengalir tanpa jeda henti, perbandingan relasi sosial yang selalu muncul dalam tiap swipe secara perlahan mengikis rasa percaya diri yang melekat pada seseorang. Hal ini lah yang menjadi pengaruh pada kesehatan mental terutama di era digital kini. “Media digital ini punya pengaruh yang besar. Yang awalnya orang itu tenang-tenang aja bisa jadi insecure, terus yang punya harapan tinggi tapi usahanya nol,” jelasnya.
Fenomena ini makin diperjelas oleh istilah-istilah yang familiar pada zaman sekarang ini dan akrab di telinga para lapisan masyarakat seperti istilah insecure, FOMO (Fear Of Missing Out), dan validasi online. Kesemua ini menjadi polemik dari krisis eksistensi generasi Z. bahkan ironisnya, bukan hanya berlaku pada kaum muda saja orang dewasa pun mulai terjebak pada validitas online untuk diakui secara digital. Hal ini menjadi bukti bahwa terdapat kesinambungan antara rasa insecure, FOMO dan validasi online. Bu Nely menjelaskan “Ada, bahkan tidak hanya generasi muda, bahkan yang tua pun juga pengin divalidasi. Seperti ketika mereka memposting sesuatu, jika ada yang memberikan like tentu mereka akan merasa senang,” ungkapnya.
Walau begitu, Bu Nely tidak menyamaratakan bentuk FOMO ke semuanya adalah negative. Ia juga menjelaskan bahwa FOMO pun terkadang bisa menjadi dorongan untuk hal positif, seperti semangat literasi atau berbagai edukasi. Dalam hal ini penting sekali kebijaksanaan untuk memilah suatu hal yang bersiat FOMO. “Terkait yang FOMO itu tergantung FOMO-nya itu ke hal negatif atau positif. Contoh yang positif: literasi, bagaimana cara menumbuhkan dan meningkatkan literasi di mahasiswa,” ujarnya.
Ia juga menambahi bahwa tidak semua hal perlu kita ekspos ke media sosial. Segala hal rutinitas boleh diumbar ke media sosial dengan memerhatikan refleksi dan kesopanan yang harus selalu dijaga. “Boleh memposting sesuatu dalam artian ya kita ngaca dulu lah, mana yang cocok untuk dipublikasikan, mana yang untuk konsumsi pribadi. Terus sopan tidak kita memposting itu,” katanya.
Baca juga: WANAKARYA 2025 HMP PGMI STAI Al-ANWAR TAMPILKAN RAGAM ACARA EDUKATIF DAN KREATIF
Dari perspektif akademik, kehidupan di era digital juga harus digunakan seperlunya saja, bukan hanya untuk konten tapi bagaimana juga mahasiswa dan pengguna secara umum bisa memilah konten atau informasi yang mereka konsumsi. “Ya, kita gunakan media itu sesuai kebutuhan. Ya kalau kita ngerasa gk butuh ya jangan. Kita memilih dan dapat memilah hal tersebut,” jelasnya.
Dalam ranah kampus, salah satu tekanan mental kerap beranjak dari tugas akademik yang menumpuk. Tapi menurut Bu Nely masalah utama bukan terdapat pada tugas nya saja, tetapi juga pada pola pikir mahasiswa yang dianggap kurang dalam mengatur waktu dan menikmati proses. “Kalau dikerjakannya sehari semalam, ya bisa membuat mental menjadi down. Apalagi itu SKS (sistem kebut semalam), dan itu dianggap sebagai beban pikiran tanpa kita tahu coba dan enjoy. Beda lagi kalau itu dinikmati, itu tidak akan menjadi beban,” ucapnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa mahasiswa harus bisa menjaga keseimbangan antara prestasi akademik dan non akademik. “Harus seimbang antara non-akademik dan akademiknya. Jadi tidak bisa kita unggul di non-akademik tapi akademiknya nol,” tegasnya.
Terkait dengan siapa subjek utama yang sangat turut andil ambil peran menjaga kesehatan mental generasi muda, Bu Nely menjawab bukan pada satu pihak saja. Semua turut andil baik dari individu, keluarga, isntitusi pendidikan bahkan pemerintah. “Semua peran itu ada kontribusinya. Dari diri sendiri, bahkan yang paling atas yaitu pemerintah. Keluarga juga merupakan orang yang penting juga, terutama orang tua,” katanya.
Ia menyoroti fenomena yang sering terjadi pada generas muda, yaitu berdiam diri di kamar. Mereka tampak tenang tetapi sebenernya mereka terjebak dalam isolasi dunia maya. “Karena diamnya dia di kamar itu kayak ya main HP, kayak scroll lah. Jadi interaksi dia itu kurang, kadang diajak bicara aja kurang nyambung,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, orang tua diminta lebih tegas tanpa mengabaikan hak privasi anak, menurut Bu Nely kunci nya terletak pada komunikasi dan kepercayaan. Sebagai solusi, ia menyarankan untuk memulai dari hal sederhana seperti mengurangi scroll tanpa batas di media sosial, memperbanyak interaksi dalam dunia nyata dan tidak begitu mengikuti trend.
“Ya yang pertama: mengurangi penggunaan sosmed/media digital. Ya dalam artian dikurangilah kayak nycroll. Lebih ke interaksinya sosialnya yang ditingkatkan,” sarannya.
“Tidak perlu takut kalau nanti dibilang, ‘Kolot banget sih kamu?’ Ya nggak apa-apa kita dibilang gitu. Lagian kalau trennya kayak joget-joget, terus velocity-an, terus kayak pakaian-pakaian yang kurang pantas, ya nggak apa-apa. Orang itu juga nggak ngaruh dan enggak rugi di saya,” tambahnya.
Sebagai penutup, Bu Nely mentipkan harapan besar bagi generasi muda di zaman sekarang ini untuk kembali ke diri nya, mengenal potensi, dan tidak dikaburkan oleh dunia digital yang semu.
“Generasi muda itu minimal tahu potensi dirinya. Kalau kesehatan mentalnya terganggu, maka dia tidak bisa menggali potensi dirinya. Karena negara butuh generasi muda yang bagus, bukan hanya sekedar velocity saja,” pesannya.
“Menjaga kesehatan mental itu penting. Karena bila mental terganggu akan sulit untuk menggali potensi diri. Sayang sekali bila Gen Z cuek, tidak berkarya. Itu nanti akan merugikan diri sendiri dan sekitar, dan masa depannya dan supaya nanti kita tidak akan tergeser oleh teknologi yang berkembang pesat,” pungkasnya.
Reporter: Acica, Sari dan Nisa