Cerpen HMP PGMI STAI AL-ANWAR

Cerpen HMP PGMI STAI AL-ANWAR

 Jejak Langkah Menuju Kesuksesan

Oleh HMP PGMI STAI AL-ANWAR




Pagi yang cerah, kampus selalu menghadirkan suasana penuh semangat. Langkah kaki para mahasiswa terdengar berirama, menandai hari baru yang penuh harapan. Dengan tawa kecil dan obrolan hangat, mereka saling berbagi pengalaman.

Di bawah langit cerah ini, taman kampus menjadi saksi kesibukan para mahasiswa yang tenggelam dalam dunia belajar. Terlihat di sana mereka duduk berkelompok sibuk dengan buku dan catatan. Suara diskusi berpadu dengan kicauan burung, menciptakan harmoni alami yang menenangkan. Sebagian mahasiswa sesekali tertawa kecil, mengendurkan suasana serius yang menyelimuti mereka. Angin sepoi yang bertiup menambah kenyamanan, menjadikan taman ini lebih dari sekadar tempat belajar, tapi juga menjadi ruang untuk berbagi inspirasi.

Di koridor kampus yang teduh, suasana hening sesaat ketika mahasiswa berpapasan dengan dosen. Langkah mereka melambat, senyum sopan menghiasi wajah, dan kepala sedikit ditundukkan sebagai tanda hormat. Sapaan ramah terdengar serentak, membangun kehangatan di tengah rutinitas akademik.

Dosen, dengan pembawaan tenang dan penuh wibawa, membalas dengan anggukan atau senyuman hangat, terkadang disertai kata-kata penyemangat yang sederhana namun bermakna. Pertemuan singkat ini bukan hanya menjadi bagian dari keseharian kampus, tapi juga momen kecil yang memperkuat hubungan antara mahasiswa dan dosen.

Inilah kampus, ruang belajar, ruang berbagi, dan ruang menginspirasi. Di setiap sudutnya tersimpan cerita, harapan, dan mimpi yang akan tumbuh bersama mereka dengan semangat dan tekad yang tinggi.

Di depan kelas yang sedikit ramai, seorang mahasiswa berdiri tegap dengan raut wajah yang penuh semangat, namanya Alya. Dengan suara mantap dan penuh percaya diri, ia mulai mengeluarkan suara, menjelaskan materi yang sudah ia siapkan dengan matang. Sesekali, matanya melirik ke arah dosen yang duduk di pojok ruangan. Teman sekelasnya memperhatikan dengan serius, beberapa mencatat, sementara yang lain sesekali mengangguk tanda memahami. Di akhir presentasi, sebuah senyuman lega terbit di wajahnya saat tepuk tangan memenuhi ruangan, menjadi penutup dari perjuangan panjang yang telah ia lalui.

Di ruang yang sunyi ini, Alya duduk termenung, wajahnya dipenuhi kebingungan. Hingga akhirnya datanglah seorang dosen yang menghampirinya, namanya Bu Nisa. Dengan sikap tenang, Bu Nisa perlahan mulai membuka percakapannya. Setiap kata yang diucapkan olehnya penuh dengan makna, namun lebih terasa pada tatapan dan cara beliau memberikan saran.

Tanpa terburu-buru, Bu Nisa memberikan masukan yang bijaksana, menyarankan agar Alya melangkah perlahan tanpa terjebak dalam kegelisahan. Alya mulai merasa lebih ringan, seolah beban di pundaknya sedikit berkurang, dan langkahnya kini mulai terlihat lebih pasti.

Di sinilah para mahasiswa berkumpul, di depan papan pengumuman kampus. Mata mereka tertuju pada pamflet yang terpasang di papan pengumuman itu, gambaran warna-warni yang mencolok menarik perhatian. Di dalamnya tertera informasi tentang lomba yang baru saja diumumkan. Alya berhenti sejenak, jari-jari tangannya perlahan meraba kertas yang terpasang, seolah mencerna setiap kata yang tertulis di sana.

Setiap kata pada pamflet itu terasa memanggilnya. Lomba ini bukan sekedar ajang kompetisi, tapi juga kesempatan bagi Alya untuk membuktikan kepada dunia bahwa bakatnya memiliki arti. Dan yang terpenting, ini adalah langkah untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kerja keras dan bakatnya layak untuk dihargai.

Suasana kantin sedikit ramai, meja tempat Alya duduk tampak dengan makanan dan gelas minuman. Ia mulai menceritakan keraguan yang sedang disimpan kepada teman-temannya, bagaimana ia merasa belum cukup siap untuk mengikuti lomba. Sementara temannya memberikan semangat dan alasan untuk mencobanya. Pembicaraan mereka terdengar ringan di tengah riuhnya suara kantin, namun di dalamnya penuh dengan pertimbangan dan keputusan yang sedang dipikirkan. Waktu seolah berjalan lebih cepat, dan ide untuk mengikuti lomba mulai terasa semakin mungkin.

Di salah satu sudut kampus, Alya duduk di depan laptopnya dengan tatapan serius. Ia menarik napas panjang, lalu mulai berbicara, suaranya menggema di ruangan kosong itu. Setiap kalimat yang keluar tampak terukur, seolah-olah ia sedang berbicara di hadapan murid-murid yang tak kasat mata. Sesekali ia berhenti, menatap video yang terputar di laptopnya, memastikan alur pengajaran yang ia rancang sudah sesuai. Ia mencoba lagi, mengulang dari awal dengan cara yang berbeda, memperbaiki ekspresi dan intonasinya. Di sela kegiatannya ia terhenti, terdiam dengan pikiran yang campur aduk, rasa gugup dan keraguan mulai menyelinap masuk pada dirinya.

Di ruang dosen yang tenang, Alya berdiri di ambang pintu, ragu sejenak sebelum melangkah masuk. Dengan hati yang berdebar, ia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan. Pandangannya bertemu dengan Bu Nisa yang duduk di hadapannya, ia perlahan membuka pembicaraan, menjelaskan keraguannya tentang lomba yang ingin diikutinya.

Bu Nisa mendengarkannya dengan saksama, matanya penuh perhatian, menunjukkan bahwa setiap kata yang Alya ucapkan sangat berarti. Dengan sabar, Bu Nisa memberikan penjelasan, merinci langkah-langkah yang perlu diambil. Rasa lega mulai terlihat di Alya. Tak hanya bimbingan akademis yang ia terima, tapi juga sebuah dorongan semangat yang baru.

Di ruang kelas yang sepi ini, Alya berdiri di depan papan tulis, memulai latihan microteaching-nya dengan penuh semangat, berbicara dengan suara yang jelas meski sedikit teragak-agak. Setiap kalimat yang diucapkan seolah-olah menguji kemampuannya sendiri, memastikan setiap penjelasan sampai dengan tepat. Wajahnya terlihat ceria, namun ada ketegangan yang tergambar di matanya. Di sudut ruangan, Bu Nisa duduk dengan tenang, mengamati setiap langkah yang diambil oleh Alya. Ruangan yang sunyi ini dipenuhi dengan upaya dan fokus, seolah waktu berhenti sejenak.

Tanpa lelah, Alya terus berlatih, mengulang-ulang penjelasannya dengan berbagai variasi, mencoba mengubah intonasi suara, mengatur waktu, atau memperbaiki ekspresi wajahnya. Waktu berlalu begitu cepat, Bu Nisa tetap setia mendampingi, menuntun langkah demi langkah, memastikan Alya siap menghadapi tantangan yang lebih besar.

Di depan papan pengumuman yang ramai dengan berbagai informasi, Alya dan teman-temannya berdiri. Mata mereka bergerak perlahan, menelusuri setiap baris tulisan nama yang terpasang. Hingga akhirnya, tawa riuh dan tepuk tangan pecah begitu nama teman mereka terbaca sebagai pemenang lomba.

Perasaan campur aduk mulai muncul pada diri Alya. Ada rasa tak percaya yang melingkupi dirinya.

Ia hanya bisa terdiam sejenak, meresapi kenyataan bahwa jerih payah dan latihan yang telah dijalani selama ini akhirnya membuahkan hasil. Dalam keramaian itu, hanya ada senyum yang terukir di wajahnya. Senyum penuh kepuasan dan kebanggaan atas pencapaian yang baru saja diraihnya. Hari itu, ia tahu bahwa perjuangannya telah membuahkan hasil yang tak ternilai.

Tawa bahagia terukir di wajah teman-teman Alya ketika mengetahui berita kemenangannya. Mereka saling berpelukan, melompat-lompat kegirangan, dan berteriak tanpa bisa menahan kebahagiaan. Beberapa dari mereka bahkan tidak bisa menahan air mata haru, tak hanya karena kemenangan itu, tapi juga rasa bangga atas usaha dan perjuangan temannya yang membuahkan hasil.

Setelah perjalanan panjang yang penuh tantangan, Alya menemui Bu Nisa dengan piala kecil yang berkilau di tangannya. Langkahnya sedikit terhenti, sejenak mengumpulkan keberanian sebelum melangkah lebih dekat.

Alya mendekat, menyerahkan pialanya kepada Bu Nisa, matanya menatap penuh rasa terima kasih. Bu Nisa yang sejak awal memberikan bimbingan dan dukungan, menatap Alya dengan penuh hangat, menyadari makna yang tersembunyi dalam tindakan sederhana ini.

Bagi Alya, kemenangan ini adalah persembahan bagi orang-orang yang berjuang bersamanya. Ia sadar, bahwa di balik setiap keberhasilan, selalu ada tangan-tangan yang mendukungnya tanpa pamrih.

“Prestasi sejati bukanlah piala yang kita bawa pulang, tetapi perjalanan yang kita tempuh dengan ketekunan dan bimbingan tulus. Bagi Alya, Bu Nisa bukan hanya sekedar seorang dosen, tapi mentor dan sahabat yang selalu menguatkan. Dan bagi Bu Nisa, kebahagiaan terbesar adalah melihat Alya, mahasiswanya, mencapai impiannya.”