Korelasi Pendidikan Dasar Dengan Sistem Pendidikan Nasional Dalam Konteks Regulasi (Analisis Sejarah dan Undang-undang Pendidikan SD Atau MI di Indonesia)

Korelasi Pendidikan Dasar Dengan Sistem Pendidikan Nasional Dalam Konteks Regulasi (Analisis Sejarah dan Undang-undang Pendidikan SD Atau MI di Indonesia)

 

Pendidikan dasar di Indonesia memiliki peran sentral dalam membentuk arah dan kualitas sistem pendidikan nasional. Perjalanan panjang pendidikan dasar dimulai sejak masa kolonial, ketika pemerintah Belanda mendirikan berbagai jenis sekolah untuk kepentingan mereka, seperti ELS (Europeesche Lagere School), HCS (Hollandsch-Chineesche School), dan HIS (Hollandsch Inlandsche School). Meskipun akses pendidikan saat itu sangat terbatas bagi pribumi, kehadiran Sekolah Rakyat menjadi titik awal terbentuknya pendidikan dasar di Indonesia yang lebih merata.

Sementara itu, sistem pendidikan Islam yang berkembang melalui pondok pesantren juga memainkan peran penting. Pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu agama, tetapi juga menjadi pusat pembentukan karakter dan perlawanan terhadap penjajahan. K.H. Ahmad Dahlan kemudian menjadi tokoh kunci dalam upaya modernisasi pendidikan Islam melalui pendirian Madrasah Ibtidaiyah dan organisasi Muhammadiyah, yang memperkuat peran pendidikan dalam masyarakat.

Setelah kemerdekaan, pendidikan dasar menjadi perhatian utama pemerintah. Pada 13 Maret 1946, nama Sekolah Rakyat secara resmi diubah menjadi Sekolah Dasar. Pemerintah mulai membangun sistem pendidikan nasional yang lebih sistematis dan inklusif. Berbagai regulasi kemudian diterbitkan untuk mengatur dan memperkuat posisi pendidikan dasar sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa.

Regulasi pertama yang mengatur pendidikan dasar secara nasional adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1947, yang menetapkan bahwa semua sekolah negeri berada di bawah Kementerian Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. Kemudian, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menegaskan pendidikan dasar sebagai jenjang pendidikan wajib bagi warga negara Indonesia usia 7 sampai 15 tahun, yang terdiri dari SD dan SMP. Puncaknya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) menyempurnakan kerangka hukum pendidikan dengan menjadikan pendidikan dasar sebagai fondasi pembentukan pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

Korelasi pendidikan dasar dengan sistem pendidikan nasional sangatlah kuat. Pendidikan dasar menjadi pondasi awal dalam membentuk karakter, literasi, numerasi, serta kemampuan sosial anak. Keberhasilan pada jenjang ini akan sangat memengaruhi jenjang pendidikan selanjutnya. Selain itu, pendidikan dasar juga menjadi instrumen utama dalam pemerataan akses pendidikan, sebagaimana diwujudkan dalam kebijakan wajib belajar sembilan tahun.

Pendidikan dasar juga berperan besar dalam pembentukan karakter bangsa. Nilai-nilai dasar seperti kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab, dan toleransi mulai ditanamkan sejak bangku sekolah dasar. Dengan demikian, pendidikan dasar tidak hanya menjadi tahap awal dalam pendidikan formal, tetapi juga menjadi tahap kunci dalam proses pembangunan manusia Indonesia yang utuh.

Meski demikian, berbagai tantangan masih menghambat integrasi optimal pendidikan dasar dalam sistem pendidikan nasional. Keterbatasan infrastruktur di daerah tertinggal, minimnya jumlah dan kualitas guru yang merata, serta kesenjangan mutu antar sekolah menjadi masalah yang perlu segera diatasi. Pemerintah perlu menerapkan strategi konkret, seperti peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan dan sertifikasi, pemerataan fasilitas belajar, serta reformasi kurikulum yang kontekstual dengan kebutuhan lokal dan perkembangan zaman.

Dengan regulasi yang tepat dan implementasi yang konsisten, pendidikan dasar akan terus menjadi tulang punggung sistem pendidikan nasional. Masa depan pendidikan Indonesia bergantung pada sejauh mana pendidikan dasar mampu menjawab tantangan zaman dan membentuk generasi yang cerdas, berkarakter, serta siap menghadapi dunia global.

Lulusan PGMI harus banget jadi guru?

Lulusan PGMI harus banget jadi guru?

 

Apakah Lulusan PGMI Harus Jadi Guru?

Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) secara umum dirancang untuk mencetak guru MI profesional. Kurikulum PGMI berfokus pada penguasaan pedagogik, kepribadian islami, sosial, serta materi keilmuan yang mendukung praktik pembelajaran di tingkat dasar. Karena itu, profesi guru sering dianggap sebagai satu-satunya arah karier ideal bagi lulusan PGMI.

Namun realitanya, perkembangan zaman membuka peluang karier yang lebih luas. Lulusan PGMI dibekali dengan keterampilan yang bisa diterapkan di berbagai bidang lain, seperti penulisan buku anak Islami, pengembangan konten edukasi digital, manajemen lembaga pendidikan, hingga menjadi trainer atau penyuluh masyarakat. Dunia kerja saat ini lebih fleksibel, menuntut kreativitas, adaptasi teknologi, dan keberanian dalam merintis jalan sendiri.

Meski profesi guru tetap menjadi pilihan utama dan mulia, tidak semua lulusan harus terpaku pada satu jalan tersebut. Selama membawa nilai-nilai pendidikan Islam dan kontribusi sosial, lulusan PGMI dapat tetap berkarya di jalur lain yang relevan. Dengan demikian, menjadi guru bukanlah satu-satunya takdir lulusan PGMI, melainkan salah satu dari banyak pilihan kontribusi dalam dunia pendidikan dan dakwah Islam.





Ditulis oleh Ishom Syirfi

Regulasi dan Praktik Pendidikan Inklusi pada Anak Berkebutuhan Khusus di Tingkat Pendidikan Dasar

Regulasi dan Praktik Pendidikan Inklusi pada Anak Berkebutuhan Khusus di Tingkat Pendidikan Dasar

 


Pendidikan sejatinya adalah hak dari semua masyarakat Indonesia. Dalam Undang-undang disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan inklusi merupakan pendekatan pendidikan yang bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK), untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas di lingkungan sekolah reguler. Pendidikan inklusi tidak hanya memberikan manfaat bagi ABK, tetapi juga bagi seluruh peserta didik, karena mengajarkan nilai-nilai toleransi, empati, dan keragaman.

Pendidikan inklusif merupakan sebuah sistem penyelenggaraan Pendidikan yang memberikan kesempatan pada seluruh peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) termasuk penyandang disabilitas untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Regulasi pendidikan inklusi yang pertama adalah regulasi di pemerintahan. Regulasi menjadi dasar penting dalam merumuskan kebijakan. Beberapa regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif, diantaranya:

1. UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
3. PP No 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
4. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
5. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus.

Pada pasal 10 Undang-undang No.8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, disebutkan bahwa hak pendidikan untuk penyandang disabilitas meliputi, hak mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus, mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan, mempunyai kesamaan kesempatan sebagai penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.

Praktik pendidikan inklusif bagi siswa berkebutuhan khusus di tingkat dasar melibatkan beberapa pendekatan dan strategi untuk memastikan bahwa semua siswa, terlepas dari kebutuhan khusus mereka, memiliki akses yang sama terhadap pendidikan yang berkualitas. Kurikulum harus dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan berbagai siswa. Ini mungkin termasuk penggunaan materi ajar yang bervariasi, teknik pengajaran yang berbeda, dan penilaian yang sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa.

Selain itu kelas harus dirancang untuk mendukung siswa dengan berbagai kebutuhan. Ini termasuk pengaturan fisik yang memfasilitasi mobilitas dan aksesibilitas, serta menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran bagi semua siswa. Dengan menerapkan praktik-praktik ini, sekolah dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan mendukung kebutuhan semua siswa, serta memungkinkan mereka untuk berkembang dan belajar secara optimal.





Era Baru Pendidikan dengan ChatGPT yang Menjadi Peluang Gemilang dan Risiko yang Mengintai

Era Baru Pendidikan dengan ChatGPT yang Menjadi Peluang Gemilang dan Risiko yang Mengintai

 

Teknologi kini menjadi denyut nadi pendidikan modern, dengan ChatGPT berdiri megah sebagai salah satu inovasi yang menggemparkan dunia dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai mahakarya kecerdasan buatan, alat ini menawarkan sederet keajaiban seperti akses seketika ke informasi tanpa batas, kemampuan untuk mereduksi kompleksitas menjadi kesederhanaan yang elegan, dan efisiensi yang mampu merombak metode pembelajaran tradisional. Bagi pendidik dan siswa, ChatGPT adalah tongkat ajaib yang mampu membuka gerbang menuju masa depan pendidikan yang lebih interaktif, adaptif, dan progresif.

Namun, seperti mata uang yang selalu memiliki dua sisi, kehadiran teknologi ini juga menyimpan ancaman yang tak kalah dahsyat. Ketergantungan yang berlebihan pada ChatGPT berpotensi melumpuhkan jiwa pendidikan itu sendiri. Di mana letak nilai perjuangan dalam belajar jika semua jawaban dapat diraih dalam hitungan detik? Proses mendalam yang membentuk pemikiran kritis dan analisis tajam terancam sirna, tergantikan oleh pola pikir serba instan. Generasi yang dihasilkan mungkin bukan lagi individu tangguh dengan kemampuan menyelesaikan masalah yang kompleks, tetapi pribadi yang pasif, kehilangan kemampuan untuk bertanya dan mencari makna.

Di balik hiruk-pikuk kemajuan ini, pendidikan tetap harus memelihara inti sejatinya yakni pembentukan karakter. Guru, dengan segala peran mulianya, adalah penjaga nilai-nilai kemanusiaan yang tak tergantikan oleh algoritma secanggih apa pun. Empati, moralitas, dan bimbingan emosional tidak dapat diprogram. Hubungan antara guru dan siswa adalah fondasi yang menanamkan nilai-nilai luhur dalam jiwa peserta didik, menjadikan mereka individu yang tidak hanya cerdas tetapi juga bermoral dan bertanggung jawab.

Tantangan lainnya adalah potensi penyalahgunaan seperti plagiarisme yang dilakukan dengan bantuan ChatGPT menjadi salah satu momok besar. Diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh untuk menanamkan kesadaran etis di setiap individu yang memanfaatkan teknologi ini. Tanpa integritas, teknologi hanyalah pisau tajam yang siap melukai jika disalahgunakan.

Dalam skenario ideal, ChatGPT seharusnya menjadi pelengkap, bukan pengganti. Teknologi ini dapat menjadi sekutu yang memperkaya pembelajaran, meringankan beban tugas teknis, dan membebaskan ruang untuk kreativitas dan refleksi mendalam. Namun, hanya dengan pengelolaan yang bijaksana, ChatGPT dapat benar-benar menjadi katalis positif, bukan ancaman laten yang mengikis nilai-nilai fundamental pendidikan.

Transformasi ini adalah peluang besar, tetapi juga panggilan mendesak bagi seluruh elemen pendidikan untuk bertindak. Pendidikan harus tetap menjadi proses yang berpusat pada manusia, dengan teknologi sebagai pelayan, bukan penguasa. Generasi mendatang harus dipastikan tidak hanya menjadi cendekiawan yang gemilang secara intelektual, tetapi juga pemimpin yang bermartabat, berintegritas, dan bertanggung jawab. Inilah tantangan besar yang harus dijawab dengan keberanian, kebijaksanaan, dan komitmen bersama.

Opini Forum Diskusi

Opini Forum Diskusi

 Fenomena Kriminalisasi Guru dan Perubahan Gaya Parenting 



Kini pada era modern, kriminalisasi guru atau tindakan yang menganggap perilaku guru sebagai pelanggaran hukum, menjadikan fenomena ini kerap terjadi dalam ranah pendidikan. Peristiwa ini berhubungan erat dengan gaya parenting orang tua era dahulu dan era modern. Perbedaan era ini menjadi faktor utama yang membawa pengaruh besar dalam hubungan guru, orang tua dan siswa.

Pada era dahulu orang tua lebih memercayai guru untuk mendidik dan cenderung menerima tindakan guru terhadap anak dalam mendidik, walaupun seorang guru menegur dengan tegas. Orang tua zaman dulu beranggapan bahwa guru lebih tau cara mendidik sehingga apabila terjadi teguran keras kepada anak orang tua zaman dahulu tidak memperhatikan perlindungan anak. Berbeda dengan masa kini, di mana orang tua lebih protektif, banyak dari mereka langsung bertindak apabila kedapatan seorang anak mengeluhkan perlakuan guru kepada muridnya tanpa paham konteks.

Fenomena ini sesuatu yang kompleks karena berkaitan dengan tingkat pendidikan orang tua. Orang tua yang berpendidikan tinggi biasanya kritis dalam menanggapi tindakan guru, yang akhirnya langkah mereka apabila terjadi teguran keras dari guru adalah melaporkan tindakan tersebut. Sebaliknya, orang tua kurang memiliki pendidikan tinggi lebih menerima dan tidak menjadi persoalan tindakan guru tersebut walaupun tujuan nya untuk mendidik. Hal ini menjaddi faktor bahwa pendidikan yang dimiliki orang tua berpengaruh terhadap respon mereka atas tindakan guru.

Di sisi lain, opini publik sering kali menjadi pemicu utama dalam eskalasi kasus kriminalisasi guru. Masyarakat yang kurang kritis dalam menyaring informasi cenderung mempercayai narasi yang menyudutkan guru, tanpa memahami kompleksitas hubungan antara guru, siswa, dan orang tua. Padahal, tindakan yang dianggap sebagai bentuk kekerasan oleh orang tua mungkin sebenarnya adalah upaya mendisiplinkan siswa sesuai tujuan pendidikan.

Kurang nya komunikasi guru dan wali murid juga menjadi faktor dalam permasalahan ini. Orang tua kurang memerhatikan Undang-undang tentang perlindungan guru. mereka lebih condong kedalam perlindungan hak anak yang seharusnya Undang-undang perlindungan anak dan Undang-undang perlindungan guru sejajar di mata hukum.

Solusi untuk masalah ini memerlukan langkah-langkah kolaboratif. Guru dan orang tua perlu membangun komunikasi yang lebih baik untuk memahami masalah dengan jelas. Salah satu cara yang dapat diterapkan adalah melalui kontrak kerja sama antara guru, siswa, dan orang tua di awal tahun ajaran. Selain itu, masyarakat perlu lebih kritis dalam memilah informasi dari media massa, dan pemerintah harus memastikan bahwa perlindungan hukum bagi guru dan siswa diterapkan secara seimbang.

Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, semua pihak, baik guru, orang tua, maupun masyarakat, perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak tanpa menjadikan guru sebagai pihak yang terus disalahkan. Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat mencegah kriminalisasi guru dan memastikan pendidikan berjalan sesuai dengan tujuan utamanya: mencetak generasi yang berkualitas.




Ditulis oleh tim Jurnalistik HMP PGMI